SIDIKALANG, DAIRI (GTN) - "Keadilan Untuk Rakyat Miskin" demikian slogan, DR Hinca IP Panjaitan XIII SH, MH ACCS yang kini gencar bejuang untuk membela hak hukum yang mendera masyarakat kecil.
"Bapak/Ibu, kalau sudah urusan pusu-pusu (hati-red), tidak ada obatnya. Walaupun sebanyak satu kontener uang kalian, tidak bisa. Saya Hinca Panjaitan siap melakukan tugas membela keladilan untuk rakyat miskin dengan setia sebelum Tuhan menjemput nyawa saya," ucap Hinca Panjaitan.
Janji Hinca diucapkan dihadapan masyarakat Desa Uruk Belin, Kecamatan Parongil, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, saat menyerahkan mandat menjadi Staf Khusus untuk Rumah Aspirasi Hinca Panjaitan kepada Alamsyah Naibaho dan Ungkap Marpaung, 27 April 2022 lalu.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Komisi III ini, senang "turun gunung" dari ibukota Jakarta untuk menemui konstituen di Daerah Pemilihan (Dapil) III Sumatera Utara yang sedang bermasalah hukum.
Wakapolres Dairi Kompol Boy Panggabean, Hinca Panjaitan dan Staf Khusus Hinca, Ungkap Marpaung. Foto (Yms)
Dapil III Sumut meliputi Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kabupaten Tanah Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kota Siantar, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Batubara, Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai.
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif
Kata Hinca, Keadilan Restoratif adalah suatu metode yang secara filosofinya dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.
Oleh karena itu, makna Restorative Justice, yaitu mengembalikan kekeadaan semula sebelum perkara itu terjadi. Berdamai, itulah Restoratif Justice singkat katanya.
Apa Restorative Justice?
"Hundul dilage-lage tiar, mangkatai na sian roha, menyelesaihon dohot dos ni roha," artinya, "duduk bersama beralaskan tikar, bicara hati ke hati menyelesaikan masalah dengan sepakat."
"Kalau ndak begitu anda-anda tidak cinta kepada kepolisian, anda membebani mereka, anda membuat mereka susah."
Kepada Polisi pinta Hinca, janganlah terlihat kejam, kasar, tapi senyumlah menghadapi masyarakat.
Jadi Bapak/Ibu dan para Kepala Desa yang baru selesai bertarung dalam pemilihan kepala desa tahun 2021 lalu, yang mungkin menimbulkan munculnya peristiwa "peti mati" yang viral itu (Desa Paropo, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi, Sumut-red).
"Jangan cegeng bapak-bapak Kepala Desa! Selesaikan kasus-kasus rakyatmu dengan dirimu. Bikin rakyat itu dewasa menyelesaikan masalahnya. Jangan buang keatas, ke polisi semua. Tak cukup personil polisi mengurus itu semua, sehingga laporan polisi pun menumpuk untuk hal yang kecil-kecil dan marah-marah itu. Hentikan itu!" pinta Hinca tegas.
Karena untuk itulah, rumah-rumah aspirasi Hinca Panjaitan dibangun, tujuannya, untuk mengajak kita semua menjadi dewasa menyelesaikan masalah kita, oleh kita dan untuk kita.
"Kalau kita bisa bernyanyi, kalau kita bisa duduk, mengapa kita tidak bisa berjabat tangan?"
Perjuangan untuk penerapan Restorative Justice dalam penanganan hukum di parlemen dan pemerintah, akhirnya berbuah baik.
Jaksa Agung kini telah mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Apa isinya?
"Semua Jaksa tidak boleh memenjarakan, memeriksa dan meneruskan perkara yang nilainya kecil-kecil, karena ngak masuk akal, stop itu," sebut Hinca tegas dan disambut tepuk tangan masyarakat.
Hinca saat ini sedang berjuang dengan pemerintah agar cakupan pada kasus Restoratif Justice, bukan saja dilihat dari nilainya 2,5 juta semata, akan tetapi lebih substansi materi masalah.
"Dan sekarang, saya perjuangkan lagi bukan dibawah 2,5 juta. Berapapun nilainya, jika sesama rakyat itu mau berdamai, selesaikan itu, supaya semua rakyat bertanggung jawab untuk menyelesaikan kedamaian ditengah-tengah mereka," harapnya.
Tahun 2021 lalu, Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2021, tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif telah terbit.
Aturan tersebut menjadi acuan bagi penyidik untuk menyelesaikan masalah hukum dengan restoratif justice.
"Sampai bulan Maret 2022 lalu, sudah 18 ribu perkara di seluruh Indonesia diselesaikan dengan restorative justice," jelasnya
Awal Perjuangan Hinca Untuk Restoratif Justice
Hincap Panjaitan mengawali cerita tentang nasib Kakek Samirin pada tahun 2019 lalu yang terbukti mencuri.
Kakek Samirin saat itu masuk penjara selama 4 bulan 2 hari, untuk kerugian korporasi atau perusahaan swasta sebesar Rp.17,840,- yang dilaporkan manager Perkebunan PT Brigestone ke Polsek Tapian Dolok, Kabupaten Simalungun, Sumut.
Kisah itu menjadi awal perjuangan Hinca Panjaitan di Komisi III DPR RI untuk memulai/mengusulkan keadilan bagi rakyat miskin yang disebut "Justice Restoratif".
Samirin dalam dakwaan dituduh mencuri bekas sadapan getah karet (rambong-red) atau jika telah selesai dipanen. Kerugian perusahaan dari hasil yang dikumpulkan dan menjadi barang bukti dinilai kira-kira Rp.17,480.
Oleh Kepolisian Sektor Tapian Dolok, karena diadukan manager PT Brigestone (perusahaan perkebunan besar), disuruh damai, ndak mau si manager, dipaksa terus, maka mau tidak mau, Polsek terus meneruskan kasus itu.
Tetapi dengan sangat bijak, penyidik Polisi tidak menahan Kakek Samirin. Ia diproses dengan tuduhan pencurian ringan. Sampailah kasus ini ke Jaksa, Kakek Samirin akhirnya ditahan.
"Kita tanya Jaksa. Mengapa kau tahan pak Jaksa?", jawab Jaksa, "Jauh pak di Tapian Dolok, sedangkan pengadilan ada di Jalan Asahan, Pematang Siantar. Kalau sidang nanti jauh menjemputnya."
Saya baru tau ujar Hinca, bahwa besoknya, kasus Kakek Samirin mau diputus, dan itu atas pemberitaan teman-teman pers. "Terima kasih teman-teman pers," ujar Hinca.
Oleh JPU, ia dituntut 10 bulan sesuai dengan UU Perkebunan (UU 39 Tahun 2014), dan sudah ditahan di penjara selama 4 bulan 2 hari.
Saya kasihan. Saya jumpai Ketua Pengadilan. Saya jumpai jaksanya. Pak Kajari, "Mohon maaf pak, saya baru disini."
Saya bilang, siapa Kasi Pidumnya? Kenapa kau tuntut segitu? Dan kenapa kau tahan dia? Jaksa sulit menjawab.
Saya akan kasih ilustrasi. Polisi menyidik, Jaksa menuntut, Hakim memutus. Produk ketiga "Jagoan Hukum" ini, diputus, masuk ke penjara. Itulah akhirnya dipenjara.
Polisi dibiayai negara dengan APBN pake uang rakyat, dibayar mereka, bajunya, senjatanya dan pangkatnya.
Jaksapun begitu dengan pangkat-pangkatnya, dengan undang-undang, kita gaji pake uang rakyat, APBN. Hakimpun demikian. Dengan toga dan palunya yang hebat itu, duduknya pun lebih tinggi dan dengan menggunakan nama "Tuhan" atas nama keadilan, juga dibiaya pake uang rakyat.
Pertanyaan? Berapakah biaya mereka (Polisi, Jaksa dan Hakim-red) sampai selesai sidang itu? Jika dibandingkan dengan Rp.17.480 kerugian perusahaan. Dimana rasa keadilan itu?
Sampailah ke penjara. Dipenjara, untuk biaya makan satu orang warga binaan per satu hari, antara 20 ribu sampai 26 ribu. Kita ambil rata-rata 26 ribu. Sudah ditahan selama 4 bulan 2 hari, kalikan dengan 26 ribu. Berapa itu? Kalau masuk ia selama 10 bulan penjara, hitung berapa biayanya itu?
Jadi negara telah mengeluarkan uang rakyat mulai dari Polisi, Jaksa dan Hakim sampai penjara, berapa banyak itu? Itu hanya untuk kerugian swasta PT Brigestone, Rp.17.480, dan bukan untuk kerugian negara. Adil atau tidak? Siapa yang bisa membantu itu?
"Saya datang, karena itu dapil saya. Saya bilang kepada Ketua Pengadilan, pikirkan pak, adilkah itu?", ucap Hinca Panjaitan.
Negara habis uangnya untuk itu. Untuk apa dibuat keadilan hanya untuk kasus seperti itu?
Nah, akhirnya saya bicara dengan majelis, tidak mau saya intervensi, tetapi saya duduk di depannya dipersidangan.
Lalu diputuskan. Tok-tok-tok. Dan terbukti, Kakek Samirin dinyatakan bersalah. Oleh Hakim, diputuslah dia selama 4 bulan 2 hari, dan hari itu juga ia bebas.
Setelah itu, saya jemput ke Lapas (penjara-red). Ketemu saya dengan seseorang disana.
"Kenalkan saya purba pak", katanya.
Dia bilang, terima kasih anda (Hinca-red) telah menolong rakyat kecil. Mengapa?
"Yang mencuri dikebun itu, bukan dia. Kami semua ini, yang dibawah manager itu. Tapi karena hasil produksi untuk dilapor ke bosnya tidak terpenuhi, maka rakyat kecil inilah yang dituduh, inilah pencurinya," ucap Purba itu.
Saya di komisi III DPR RI pada saat rapat kerja. "No way, ini harus kita stop," ajak Hinca di Ruang Rapat Komisi di Senayan Jakarta.
Mitra Kerja Komisi III, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Badan Narkotika Nasional dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
"Saudara Jaksa Agung, saya minta, hentikan seluruh keadilan yang kecil-kecil ini, biayanya besar-besar, dan kau susah oleh karena ini".
Maka terkenalah dengan kasus kakek Samirin, nenek Minah dan seterusnya.
Tiga minggu yang lalu, saya di Asahan, Sumut, ada kasus pencurian buah sawit sebanyak 3 tandan, juga dibegitukan.
Saya datang dan saya bersaksi, didalam persidangan, saksi yang meringankan atau A de Charge. Itu (terdakwa-red) adalah rakyat saya, yang belum tentu juga ia memilih saya, kenalpun tidak, dan akhirnya ia dibebaskan.
Kenapa pak Hinca mau urus yang kecil-kecil? Ditulis, Yustin M Sianipar (Bersambung...)